#Cerbung - Pilihan; Terpilih, Dipilih, atau Memilih (?)

Pilihan; Terpilih, Dipilih, atau Memilih (?)
            “Jika hidup adalah sebatas perihal pilihan. Bisakah kamu jelaskan, apakah mereka yang terlanjur hidup di jalananan telah benar-benar memilih kehidupannya?”
Pertanyaan itu terus menjadi momok bagiku. Yang aku yakini selama ini adalah “hidup merupakan pilihan”. Tapi, tidak pada detik itu. Aku berpikir keras, kenapa pria yang berada di depanku ini bisa menatap mataku begitu tajam? Suaraku tercekat di tengah tenggorokan. Matanya sungguh tak bersahabat, sangat buas.
“Kamu terlalu naif, sama seperti mereka. Kalian bisa saja terus berpikir jika hidup itu pilihan. Tapi, tidak denganku. Aku bahkan tak pernah bisa memilih dalam hidupku.”
Ia membuang wajahnya. Mataku berhasil menangkap kristal bening yang tertahan di sudut matanya. Aku berjalan melewati tubuh tingginya, seolah ingin meninggalkannya tanpa menatap matanya. Aku terus melangkah, lalu berhenti pada jarak dua meter dari posisinya. Aku hanya dapat menatap punggungnya yang tidak terlalu besar, namun cukup untuk menghangatkan jika dipeluk. Ia sama sekali tak bergeming, ia bahkan tidak berusaha untuk menyegah langkahku. Saat itulah aku menyadari, ia membutuhkanku untuk berkeluh. Kakiku kembali mengatur langkah, pun mengatur jarak tepat di belakang punggungnya.
“Kenapa kamu tidak mencoba untuk memilih atas pilihan yang telah Tuhan rancang untukmu,” aku membisikkan pelan kalimat itu di daun telinganya.
Dug.. Dug..
Jantungku mulai bekerja tidak normal. Ia memompa tiap katupnya begitu cepat. Mungkin ini berbanding lurus dengan rasa takutku. Iya, aku takut jika ia berbalik badan lalu mendaratkan tangannya di pipiku. Meski itu suatu hal yang mustahil untuk ia melakukannya.
Ia terus bertahan pada posisinya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Sedang aku, begitu gelisah menanti ia membuka mulutnya. Ya, aku tak mau kalah. Aku juga bertahan pada posisiku, menanti jawabnya.
“Terimakasih” Itulah satu-satunya kata yang ia lontarkan sebelum bayangnya menghilang dari tatapanku. Ia terus melangkah maju tanpa menoleh padaku. Aku tak sanggup mencegah kepergiannya, sama seperti ia yang tak mencegah langkahku sebelumnya.
***
            To : Aan
Hai, lagi mikirin aku ya? Haha. Sini buruan, aku tunggu di tempat biasa. Bayarin aku makan. Sepuluh menit lagi kamu udah mesti di depan aku. Aku tunggu.
Send.

Seperti biasa, aku mengirimnya pesan singkat seperti itu. Aku tahu, mungkin dia bisa saja tidak datang setelah kejadian tadi siang. Tapi, hanya ini yang bisa aku lakukan. Aku tak boleh menghindarinya karena aku yakin saat ini ia sangat butuh telingaku untuk berbagi keluh. Aku harus beradu akting dengan pria itu di dalan keseharianku. Bersikap biasa walau sesungguhnya ada banyak ketidakbiasaan yang ia tunjukkan padaku.
Tak bisa ku pungkiri, selama ini ia begitu baik padaku. Apalagi jika aku ingat peristiwa tempo hari. Mataku yang telah terpejam selang beberapa menit saat ku lihat lengan mungil Mei mengudara, aku pasrah begitu saja atas apa yang akan ia lakukan padaku. Namun, geraknya terhenti saat Aan dengan sergap menahan lengan Mei yang tengah melayang ke arah pipiku.
“Kamu ini cewek, cantik, tapi kelakuan kayak preman. Kenapa tidak dilahirkan jadi cowok kayak aku? Biar aku bisa dengan bebas menghajarmu!”Bentak Aan ke arah Mei.
Jujur saja, hari itu kali pertama aku melihat Aan marah. Aku kaget bukan kepalang melihat kelakuannya yang berbeda mulai hari itu. Ya, bukan rahasia umum lagi jika satu sekolahan sering membicarakan sisi femininnya. Bahkan berita itu telah terdengar di telingaku dari hari pertama MOS di mulai. Ia selalu jadi bulan-bulanan kakak tingkat dan juga beberapa mulut jahil satu angkatan kami. Tapi, ia tak pernah marah. Ia bahkan tersenyum dan menanggapi hinaan mereka dengan memperlihatkan gaya Ani di malam hari, bukan Aan. Aku selalu melihatnya tertawa ringan setelah melakukan hal-hal konyol seperti itu.
“Ayo, Key. Kita pulang”, ia melempar lengan Mei yang merintih kesakitan. Lalu menggantinya dengan menggenggam erat jemariku. Aku mengatur langkahku agar seirama dengan derap yang ia timbulkan. Ia memperlakukan aku seperti anak kecil yang diseret karena tidak mau pulang ke rumah.
“Pelan-pelan, sakit” aku mulai bersuara perlahan. Ia mendengarnya dan segera melepaskan genggamannya di lahan parkir. “Aku belum mau pulang. Aku takut” lanjutku.
“Kenapa?” Ia menatapku. “Ini hari ujian, kita sudah mengerjakan keduanya dan wajar kalo kita langsung pulang habis ujian. Iya, kan?”
“Bukan itu...” uacapanku terhenti saat yang lain meneriaki namaku.
“Keyla... Keyla...”
Hosh... Hosh...
Mereka terengah mendekatiku, “Kamu dipanggil ke ruang guru, Key” lanjutnya.
Aku menatap lekat mata Aan, lalu merunduk. “Ini yang aku takutkan,” batinku. Aan datang menghampiriku, menyeka tiap tetes air mata yang aku luncurkan di kedua pipiku.
“Aku bakal dapat masalah, An. Mereka orang-orang yang handal bersilat lidah. Mereka pintar mengambil hati guru. Bahkan guru-guru tersebut ikut terpancing dan meremehkan kemampuanku. Kalian lihat kan tadi, ibu itu memaksaku untuk segera mengumpulkan lembar jawabanku sebelum waktu usai. Kenapa harus aku kumpulkan? Kenapa harus aku sedang yang lain tidak? Ini tidak adil,” aku terisak sejadi-jadinya.
“Karena kamu rela dan mau temenan sama kami, Key.” Ucap Anji, salah satu teman yang duduk satu baris denganku. “Kamu tahu sejarah tentang kami, kan? Semua dari kami tidak ada yang bernilai baik di hadapan para guru, kecuali kamu, Aan dan Rian. Kalian bertiga anggota OSIS, sedangkan kami berandalan sekolah. Kita bersembilan, dan kamu satu-satunya perempuan di antara kami. Mereka mengambil kesempatan itu untuk menjatuhkanmu. Ya, mereka akan menjadikanmu sebagai kambing hitam untuk mengejar obsesi mereka sebagai nomer satu di kelas IPA.”
“Anji benar, Key. Semua guru dibuat berpikir dua kali saat kamu berhasil menyingkirkan mereka di pembagian rapor semester kemarin. Mereka semua memandang rendah kemampuanmu karena kami,” tambah Al.
Aku tak bisa menjawab pembelaan mereka atas yang aku lakukan. Aku masih saja terisak. Dan Aan masih menyeka air mataku, “Mau pulang atau pergi ke kantor?” tanya Aan.
“Ke kantor,”jawabku.
“Aku ikut. Aku akan selalu ada di dekatmu, apa pun yang terjadi”
***
Bruk..
Ada benda jatuh tepat di depanku.
“Sial kamu, An. Buat aku kaget saja”
“Udah, biasa aja tuh bibir. Gak usah dimonyong-monyongin. Lagian, suruh siapa kamu ngelamun? Kamu tuh tenang aja, aku pasti datang. Jadi, jangan terlalu dipikirin.”
“Ah, aku senang kamu seperti ini, An” ucapku dalam hati.
“Hih, kepedean sih” sergahku cepat membantah ucapannya yang seratus persen ngena banget. “Lama amat sih, dandan kayak ibu-ibu mau arisan”
“Apa? Ngomong sekali lagi, aku tinggalin kamu!”
“Dandan kayak emak-emak mau arisan. Kayak emak-emak, kayak ibu-ibu, kayak tante-tante, kayak cabe-cabean, kayak....” ucapku terhenti seketika melihat ia mulai berdiri dan melangkah pergi. “Dia marah beneran? Kan aku cuma bercanda,” ucapku pelan seraya menjatuhkan kepala ke atas meja bundar tanpa semangat. “Niatnya mau buat dia happy malah jadi keki. Baka!!”
 Tiga puluh menit berikutnya aku mencoba mendongakkan wajahku. Betapa terkejutnya aku, wajahnya tepat berada di depan wajahku.
“Nangis lagi? Ih, kamu mah cengeng banget jadi cewek. Pantas aja ditindas mulu”
Aku dengan segera menghapus air mataku sebelum ia menyekanya lagi. “Ah, nggak. Tadi aku cuma kelilipan aja. Sok tau kamu mah, ih” aku coba berdalih.
“Hahaha.. iya deh percaya” senyumnya selalu berhasil memikat hatiku. “Pindah mobil aja, yuk. Di sini mah dingin, aku juga udah pesan makananan tadi, kita makan di mobil aja”
Aku hanya mengangguk. Ia selalu menggenggam erat jemariku dan aku tak pernah menolaknya. Sesampainya di dalam mobil, aku mulai bertanya serius kepadanya perihal kejadian di sekolah.
“An, aku boleh nanya?”
“Apa? Pacar? Udah deh jangan coba rayu aku. Aku ga nafsu sama cewe yang punya jiwa kelaki-lakian kayak kamu”
Aku tak menjawab gurauan Aan, langsung kuutarakan pertanyaan lainnya, “Gimana kabar Tata? Aku kangen loh”
“Hah, ngapain kamu nanyain kabar dia? Tanyain tentang aku aja lah, gak usah tentang dia. Malas”
“Ngapain, tentang kamu ih. Lagi berduaan gini pake ditanya segala”
“Kita pulang,” seperti biasa Aan tak pernah mau menjawab segala bentuk pertanyaan mengenai Tata, adik tirinya. Aku hanya diam, tak lagi bersuara. Pikiranku melayang di suatu malam dimana aku dan Rian bertandang ke rumah Aan untuk mengerjakan tugas sekolah.
Malam itu, aku duduk di ruang tamu sendirian. Sedang Aan dan Rian mengumpulkan peralatan dan bahan tugas. Saat itu, seorang gadis cantik, berambut hitam panjang tergerai, wajahnya imut, senyumnya manis sekali. Gadis yang kira-kira berusia delapan tahun itu datang perlahan, mendekat ke arahku.
“Malam, kakak” sapanya.
“Iya, malam” aku membalas senyum malaikat kecil tersebut.
“Kakak, temannya mas Aan? Kenalin, nama aku Tata, adiknya mas Aan”
“Adik?” gumamku dalam hati. Setahuku, Aan adalah anak semata wayang. Ia tak pernah cerita jika punya seorang adik. Belum sempat ku menjawab pertanyaan si Tata, Aan terlebih dahulu membentaknya.
“Kamu! Ngapain di sini? Masuk sana! Gak usah ganggu!”
“Ih, kamu kenapa marah-marah gitu? Dia sama sekali gak ganggu aku kok,” balasku.
“Iya, kamu mungkin gak terganggu. Tapi, aku terganggu. Gak usah ikut campur kalo gak ngerti!” Aan balik membentakku, sedang aku hanya tertunduk.
“Maaf, aku tak bermaksud” ucap Aan menyesal.
“Udah sih udah, jangan drama deh, aku mau nangis nih. Hahaha. Kalian gak nganggep aku ada, apa?” Rian membuka suara memecahkan ketegangan yang tercipta antara keduanya. “Nih, tugas besok mau dikumpul, mending kita kerjain daripada drama-dramaan,” lanjutnya.
***
Teng... Teng...
“Baiklah anak-anak, nomor berikutnya silahkan kalian kerjakan di rumah sebagai PR. Besok di kumpul sebelum pukul tujuh di meja saya,” ucap Ibu Nini yang menjabat sebagai wali kelasku.
Satu-persatu teman kelasku mulai meninggalkan kelas, tersisa hanya aku dan Rian.
“Yan, Aan bilang gak ke kamu kenapa dia gak masuk hari ini?”
“Nggak,” balas Rian cepat tanpa menoleh kepadaku, lalu pergi meninggalkanku seorang diri.
“Hih! Dingin amat. Kenapa akhir-akhir ini kalian berbeda? Kemarin si Aan, sekarang Rian,” gerutuku dalam diam.
Selang beberapa menit dari kepergian Rian, aku pun menyeret paksa kakiku meninggalkan kelas.
“Halo, iya tante. Rian masih di sekolah. Baiklah saya akan segera ke sana.” Langkahku terhenti saat mendengar suara Rian dari balik pintu ruangan OSIS. Aku mencoba mendekatkan daun telingaku ke daun pintu agar bisa mendengar lebih jelas pembicaraannya. Namun, sial! Rian membuka pintu tersebut lebih dulu hingga membuat tubuhku limbung seketika.  
“Aaww”
“Keyla!” Rian terkejut mendapatiku terjatuh di depannya. “Kamu ngapain di sini?” lanjutnya.
“Aku... Aku...” belum sempat mencari alasan, lagi-lagi Rian meninggalkanku begitu saja. Sosoknya hilang dari penglihatanku dengan sangat cepat.
***

Komentar

  1. cerbung nya menarik kak, cerita nya mengalir sekali.

    BalasHapus
  2. Balasan
    1. Selamat ya, dapat award nih ;) http://coretanrifqi.blogspot.com/2015/01/my-3rd-4th-and-5th-liebster-award.html

      Hapus
    2. uhuhuhu..
      Double, triple thanks ya :D

      Ntar postingan liebsternya aku buat kapan-kapan deh :p

      Hapus
  3. Gue yakin suatu saat cerbung ini bisa menjadi novel yang dminati banyak pembaca. Saluutt

    BalasHapus
    Balasan
    1. >,<
      Bahkan aku yang nulisnya ga seyakin itu.
      But, thanks ya udah mau baca :)

      Hapus
  4. cerbungnya keren mbak,,sukses ya :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer