21 Maret 2020 : Di Bandara SMB PLG

21.03.2020
17:49:01 

Meski tak terucap, ada banyak andai yang dulu telah tersemogakan hari itu. 

Beberapa tahun lalu, aku pernah mengalami patah sepatah-patahnya. Hingga aku sempat tak ingin merasakan apapun karena tak ingin merasa patah sekali lagi.

Kabar tentang kedatanganmu pada beberapa waktu lalu, jujur saja adalah hal yang aku tunggu. Akan tetapi, setelah waktu semakin dekat, kekhawatiranku pun ikut meningkat.

Ada banyak tanya di kepala yang tak bisa aku ucapkan. Ada banyak rasa yang tak bisa aku sampaikan. Sampai waktunya, aku harus memastikan diriku sedang baik-baik saja.

***

Detik-detik menunggu kamu mendarat di Palembang adalah waktu berharga yang tak sanggup untuk aku uraikan. Perasaan takut, minder, malu bercampur menjadi satu. 

Denganmu adalah pertama kali. Hampir semuanya kulalui untuk yang pertama sepanjang aku bernapas. 

Dimulai dari dua minggu sebelum kamu datang, aku rajin bolak balik klinik kecantikan untuk perawatan. (re: pertama kalinya aku ambil full perawatan di klinik berikut paket skincare-nya). Pada saat itu, aku hanya takut merasa buruk rupa. Aku akan merasa bersalah, jika kamu datang dari jauh dan menghabiskan banyak budget lalu menemuiku dengan rupa yang tak bisa dinilai. Lucunya, aku tidak menjadi cantik pun seperti selebritis yang keluar masuk klinik kecantikan serupa. Pasrah; itulah jalan satu-satunya.

Jika hal ini aku ceritakan kepadamu,  mungkin saja kamu akan mengatakan hal yang sama,  "Terus ada yang berubah?  Ya,  kalo nggak ngapain ngabisin duit".

Huh,  aku akan menyerah.  Tak kan ku ceritakan aib ini padamu.  

***

Aku melangkahkan kaki tepat setengah jam sebelum jadwal kedatanganmu tiba. Karena ini adalah pertama kalinya aku menginjakkan kaki di bandara, jujur saja, ku tak cukup percaya diri.  

Jangankan untuk menemuimu nantinya, menghadapi tatapan orang yang hilir mudik saja aku tidak berani.  Rasa-rasanya seperti mereka memerhatikanku.  Padahal,  itu hanya pemikiranku saja. 

Canggung rasanya berada di tempat yang tak pernah aku singgahi sebelumnya.  Setidaknya aku harus pindah tiga kali tempat duduk demi 'social distancing'.  

Tadinya aku yang pertama duduk di kursi,  akan tetapi aku berdiri dan pindah ketika ada sekeluarga yang mencari-cari tempat duduk pula. Aku yang hanya seorang diri merasa tak enak melihat mereka menahan lelah membawa banyak barang. 

Kedua kali, aku mendapati lagi kursi kosong.  Namun,  lagi-lagi aku pindah karena ada sejoli yang sedang kasmaran duduk tepat di sebelahku.  Ingin selali rasanya aku menggerutu, "Udah mah ya aku sendirian, kali aku mau jadi nyamuk.  Hih!"

Akhirnya,  aku memutuskan untuk berdiri saja. Kulangkahkan kaki sambil memerhatikan gerak-gerik orang di sana.  Ada yang haru biru melepas kepergian keluarganya,  ada yang bahagia menyambut kedatangan kerabatnya,  ada yang cipika cipiki melepas rindu dengan kekasihnya,  dan masih banyak hal yang lainnya. 

Jujur saja aku merasa tidak nyaman ketika berada di tengah keramaian. Meski tak ada yang memerhatikanku, tetap saja aku merasa canggung sekali.  Dan demi melindungi diriku, aku memutuskan untuk menunggumu dibelakang tembok; sepi.  Haha.  Tidak sesepi yang kamu kira, ini hanya menurutku saja kok.  Banyak orang yang lalu lalang, namun jika aku menempatkan diriku di belakang tembok aku merasa tak ada lagi yang memerhatikanku. Itu saja. 

***

Hari itu, aku tidak ingat baju model apa yang kamu kenakan. Warna baju apa yang kamu pakai. Aku tidak ingat sama sekali. Rasanya ingin sekali aku memaki dan mengutuk diriku sebab tak bisa mengingat hal remeh seperti itu. 

Ya, yang aku ingat hanya mata itu. Mata sendu yang tersisa sebab masker yang kamu kenakan hampir menyelimuti seluruh area wajahmu.

Tatapan mata yang begitu hangat, anggukan kecil yang tidak menghakimi. Senyum lembut yang ditampakkan setelah masker wajah dibuka. Membuat hariku begitu berbeda. Ingin rasanya aku dekap tubuh itu untuk menumpahkan segala rindu. Namun, kutampikkan karena aku merasa tidak begitu pantas untuk menerimanya.

"Sudah ini kita ke arah mana?" tanyamu.

"Nggak tahu", balasku lekas.

Hahaha. Bodohnya aku yang selalu membalas pertanyaanmu dengan kata tidak tahu. 

Ah, seharusnya saat itu, kamu membiarkan aku beberapa menit untuk mengistirahatkan jantung yang melonjak cukup hebat. Atau setidaknya beri aku sedikit jeda untuk melepas bahagia. 

***

Hari itu adalah malam minggu pertama yang aku lalui bersama seseorang yang kehadirannya benar-benar aku nantikan. 

Seperti yang kamu tahu, untuk pertama kalinya aku melangkahkan kaki ke bandara. Dan di hari itu pula pertama kalinya aku berinisiatif untuk menghampiri lelaki lebih dahulu. Rasanya aku seperti tidak menjadi aku pada saat itu. 

Rasanya aku ingin tahu apa yang kamu rasakan saat pertama kali melihat aku dengan segenap kebodohanku itu?

***

Beberapa saat kemudian, kamu melirik jam di tangan kananmu sembari memainkan handphone di tangan yang sama Barangkali di kepalamu sedang riuh tentang bagaimana bentuk perjalanan selanjutnya setelah mendaratkan kedua kakimu di kota Pempek ini.

Begitupun dengan aku yang juga riuh dengan isi kepala. Aku bisa pergi, tapi aku lupa cara pulang. Haha. Bodohnya aku tuh gak sekali, tapi berulang. Aku lupa kalo di bandara aplikasi gojek tidak berlaku. Masalahnya aku tak ada aplikasi lain selain gojek. 

Untung saja kamu cepat respon dengan memakai aplikasi lain;grab; lalu menyodorkan handphone kepadaku untuk mengetik alamat yang dituju, rumahku.

Ada perasaan hangat yang tak bisa aku jelaskan pada saat itu. Aku pun tak mampu membuka suara. Seperti gadis kecil yang diam ketika diberi mainan kesukaannya. Kalem.

Selain itu, tanpa kamu sadari, aku mengecilkan langkahku agar bisa memandangi punggungmu. Aku sengaja mengambil langkah sedikit di belakangmu agar aku bisa melihat seberapa semangatnya kamu hadir di depanku. Atau setidaknya jika kamu berubah pikiran nantinya, aku telah membiasakan diriku sedari awal agar tetap terbiasa tidak membersamaimu.

***

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer