Medan Magnet Freizy

            Hari masih sangat pagi, udara pun masih terasa sejuk. Seperti biasa, rutinitas gadis dengan tinggi 168 cm ini ialah menatap langit. Mengamati setiap penjuru, menanti hadirnya  seberkas cahaya yang mampu memberikan kehidupan pada segenap makhluk.  Entah dari kapan ia mulai menyukai langit. Entah apa pula yang ia sukai dari langit, yang  jelas ia bisa lupa waktu karenanya.
            Saya tunggu pukul 09.00 di ruangan saya. Don’t late!
            Begitulah kira-kira pesan singkat yang dikirim Miss Oca pada Auxel, lengkapnya Teresa Auxel Virginia, seorang gadis blasteran Jawa- Jerman dengan rambut lurus sebahu dihiasi dengan poni yang menjuntai indah menghiasi dahi, ditambah hidung yang teramat mancung semakin mempertegas kecantikan wajahnya.
            Membaca sederet tulisan di layar smartphone miliknya, hadiah dari Daddy di hari kelahirannya dua bulan lalu. Spontan ia gulirkan pandangannya sedemikian cepat menuju arloji yang terpampang di dinding kamar, matanya terbelalak, bulat sempurna.
            “God, setengah sembilan! Kill me!” batin Auxel dalam hati. Tanpa ba bi bu, bak kilat yang menyambar di tengah bolong, ia mengambil handuk, lalu masuk ke kamar mandi.
            Waktu yang tersisa hanya sekitar tiga puluh menit saja. Hal ini tentu membuat Auxel kalang kabut. Bayangkan, untuk mencapai kampus saja, Auxel butuh waktu hingga dua puluh menit bila mobilnya dipacu 40 km/jam, itu pun kalau jalanan tidak macet. Belum lagi sisa dua puluh menitnya. Oh, God! Cewek mana yang bisa dandan hanya dengan dua puluh menit saja? Belum waktu mandinya, belum milih baju, tas, dan sepatu, belum lagi dandannya, apa lagi ditambah nyiapin setumpuk tugas yang mau dibawa ke kampus. So, Compilcated guys!
            “Oke, fine, rileks!”, batin Auxel menenangkan diri. “Gue tetep cantik hanya dengan sepuluh menit kok”, ucap Auxel di depan cermin rias, menguncir sebagian rambutnya bak ekor kuda dengan nafas setengah terengah. Berpacu dengan waktu ternyata mampu menimbulkan peluh.  Masih dengan keadaan mematung, ia menatap bayangnya sendiri seolah mencari jawab  atas tanya : Ga bakal ada yang nanya gue mandi sepuluh menit itu gimana kan?  
***
            Antrian panjang kendaraan di kota-kota besar adalah pemandangan yang sangat lazim ditemui. Polusi adalah teman akrab bagi masyarakat perkotaan. Lihat saja, mobil-mobil mewah bertambah setiap harinya. Belum lagi, kendaraan roda dua yang dirancang dengan berbagai tipe pun ikut memberi sumbangsih pada kepadatan jalan raya ini. Tak ada seorang pun yang mampu merubah keadaan ini.
            Tinnn.... Tiinnn......
            Suara klakson avanza putih milik Auxel bergema di udara. On time! Hanya itu yang diinginkan Auxel saat ini. Sepanjang perjalanan, isi pesan singkat miss Oca selalu muncul di benaknya.
            “Ah, kampus masih jauh lagi. Bisa-bisa gue telat kalo gini. Agghh!” umpat Auxel dalam hati.
            Panik. Lalu lintas yang tak kunjung terbebas dari kemacetan, fix membuat emosi  Auxel naik lima tingkat. Tanpa fikir panjang, Auxel memutuskan untuk menghubungi pak Tarjo, supir keluarga, untuk mengambil mobil yang dihentikannya di pinggir jalan. Berat bagi Auxel meninggalkan avanza putih itu karena hanya kendaraan roda empat dengan plat BG 4 XL inilah yang dengan rela mengantar Auxel kemana pun, layaknya seorang kekasih yang setia menemani.
            Auxel pun turun dari mobilnya dan langsung menghampiri pangkalan ojek yang tak jauh dari tempat dia memarkir mobilnya.
            “Anterin ke Universitas AAA dong, Bang. Gak pake lama ya” perintah Auxel kepada salah satu tukang ojek
            “Oke neng”, tanggap si tukang ojek cepat.
            Brum..... Brum......
            Mereka melesat cepat, hilang dalam kepulan asap, melewati celah-celah sempit  kemacetan. Sepanjang perjalanan, Auxel komat-kamit merapal mantra, berharap tetesan Rossy yang ditumpanginya ini mampu mengantarkannya tepat waktu, selamat dan tanpa lecet sedikit pun.
            Akhirnya setelah delapan menit berlalu, abang ojek berhasil melaksanakan kewajibannya pada Auxel, selaku penumpang.
            “Yes, tepat waktu!” batin Auxel. Tak ingin waktunya terbuang Auxel pun turun dari motor si tukang ojek.
            “Nih bang, ambil aja kembaliannya”, ucap Auxel seraya memberikan uang lima puluh ribu dan berlari menuju ruangan miss Oca.
            Setelah melewati tiga hingga empat tikungan, tanpa diduga dari arah yang berlawanan muncul sesosok lelaki sederhana berperawakan sedang dengan model rambut harajuku bak anggota band jepang. Dan jeddaarr, terjadilah tabrakan antara dua insan yang tak saling mengenal itu.
            “Eh, jalan pake mata dong. Kalau begini kan tugas gue jadi berantakan” bentak Auxel sambil kebingungan mengumpulkan lembaran kertas yang berserakan di lantai ketika bertabrakan.
            Tanpa komando, Freizy Al-Hadi merunduk, membantu Auxel mengumpulkan berkas-berkas yang terlanjur terjun bebas di lantai.
            “Nih”, tukas Zy kepada Auxel seraya menyerahkan berkas-berkas yang telah dipungutinya.
            Mendengar si troublemaker bersuara, Auxel mengalihkan pandangannya ke arah seorang pemuda yang sedari tadi berada di hadapannya dengan tatapan nanar. ZzzzZZZzz. Ketika mata mereka saling bertemu dalam beberapa detik, ada getaran asing yang muncul tak terduga diantara keduanya. Dan seakan tak ingin terhanyut dalam waktu yang lebih lama lagi terhadap kejadian tak penting ini, Freizy bersuara kembali memecahkan suasana, “Sorry”. Hanya satu kata singkat yang Zy lontarkan, lalu pergi begitu saja sontak membuat Auxel mematung, menahan kecambuk amarah.
            Teringat pesan singkat miss Oca, dengan sigap Auxel berdiri dan melanjutkan marathonnya menuju ruangan miss Oca.
***
Tok.... Tok.... Auxel mengetuk daun pintu yang setengah terbuka.
“Guten Morgen”, ucap Auxel dengan posisi kepala dan setengah badannya berada di dalam ruangan miss Oca, sedang kakinya masih berada di depan muka pintu –posisi mengintip dari celah pintu-
*Guten Morgen adalan sapaan yang biasa diucapkan orang Jerman di pagi hari, artinya selamat pagi*
            “Masuk...” perintah Miss Oca.
            Auxel mengangguk, memaksa sebagian tubuh lainnya masuk ke ruangan miss Oca. “Iya, thank you Miss”, tukas Auxel menanggapi perintah miss Oca diikuti dengan senyum kecil di bibirnya.
            Tepat di depan meja miss Oca, Auxel menyerahkan lembar tugas yang telah ia kerjakan dengan tingkat maksimal. Masih dalam keadaan mematung, kaki Auxel mulai gemetaran dan lemas, sudah setengah jam lebih ia berdiri, menunggu lembaran tugasnya diperiksa secara teliti dan mendetail.
            “Loe kalo capek ya duduk!” ujar seorang pria yang duduk membelakanginya.
            “Kesempatan tak datang dua kali”, gumam Auxel. Sesegera mungkin ia mengambil posisi duduk di sebelah pria yang tadi menyuruhnya untuk duduk dengan nada teramat dingin. Disergap rasa ingin tahu, Auxel mendelik, memasati tiap inci wajah pria di sebelahnya itu. “Gue kayaknya pernah ketemu sama nih orang. Tapi dimana sih?!”
            Berbanding terbalik dengan sikap Auxel, Zy sebenarnya telah menyadari bila ia sedang diperhatikan oleh Auxel. Namun, ia tak memerdulikannya. Sikap dingin, acuh, dan cuek telah bersemayam di nadinya. Zy membiarkan Auxel memenuhi hasrat keingintahuannya terhadap Zy.
            “Oke, Auxel. Kalau tugas kamu seperti ini, saya semakin yakin bahwa kamu memang cocok untuk bekerjasama dalam team dengan Freizy”
            Ucapan miss Oca menyadarkan Auxel dari kegiatannya sedari tadi. Bukan itu saja, tiba-tiba sederet pertanyaan pun muncul di benaknya, “Kerjasama? Team? Apa? Terus, Freizy siapa? Apakah makhluk setengah jadi-jadian ini orangnya? Aghhhhhhhhh”
            “Kalian saya tunjuk untuk mewakili fakultas kita untuk mengikuti lomba karya tulis ilmiah se-Indonesia. Event ini kebetulan diperuntukkan untuk dua sampai tiga orang saja yang dibentuk dalam sebuah team. Maka dari itu, saya percayakan kepada kalian berdua. Selamat bekerja sama dan beri hasil yang memuaskan untuk kita semua.  Tema dan syarat-syarat perlombaan ada di undangan ini, silahkan kalian baca dan pilih temanya sendiri”, lanjut miss Oca seraya menyerahkan selembar kertas kepada Auxel. “Kalian boleh keluar”, ucap miss Oca mengakhiri percakapan.
***
            “Dari mana saja kamu jam segini baru pulang? Nggak ada aturan sama sekali”
            “Kuliah”, hanya jawaban singkat yang terlontar dari mulut Zy, lalu berlalu begitu saja meninggalkan ayahnya yang menatapnya tajam penuh emosi.
            “Hei, kamu! Dasar anak tidak tahu sopan santun! Diajak bicara malah ngeloyor begitu saja. Percuma saja kamu di sekolahkan tinggi-tinggi! Dasar anak tidak tahu di untung! Tidak tahu cara menghormati orang tua! Masih untung kamu bisa enak menikmati uang ini secara gratis! Dasar, anak tidak tahu di untung!”, umpatan demi umpatan keluar dari mulut lelaki itu.
            Hal semacam ini bukanlah kali pertama didapatkan oleh Zy, bahkan untuk menghitungnya saja ia tak mampu. Kejadian ini telah berlangsung lama, terhitung sejak ia duduk di bangku putih biru. Bayangkan saja bagaimana sifat dan karakter seorang anak baru terbentuk, dimana peran orang tua sangat diperlukan dalam memback-up masa muda anak-anaknya. Layaknya darah muda kebanyakan, masa ini ialah masa rawan, masa dimana seorang anak pindah posisi menjadi seorang remaja yang berusaha mencari jati diri, satu masa yang sering digunakan mereka dalam mengenyam keangkuhan hidup, menjadikan diri menjadi sosok orang paling hebat, selalu ingin diakui keberadaannya, “INI AKU! Dan AKU ADA!”
            Zy tak pernah benar-benar menganggap keberadaan mereka, sama seperti mereka yang tak pernah benar-benar menganggap keberadaannya sebagai seorang anak. Ada segenap rasa hina yang mengalir didarahnya untuk sekadar mengakui bahwa mereka adalah orang tua kandungnya. Bagi Zy mereka tak lebih seperti seorang donatur yang selalu membagikan sebagian hartanya kepada panti asuhan, yang kemudian uangnya digunakan untuk kelangsungan hidup warga panti. Ya, begitulah kiranya yang Zy rasakan. Ia hanya mendapatkan uang dan berbagai fasilitas mewah di rumahnya, tanpa sedikit pun merasakan keutuhan dan keharmonisan sebuah keluarga, merasakan pujian dari seorang ayah, merasakan hangatnya pelukan seorang ibu. Ah, sangat jauh harapan!
            Kadang sering kali ia pergi menjauh dari keramaian, apa lagi jika itu merupakan pemandangan sebuah keluarga harmonis. Sungguh menyesakkan! Bukan itu saja, jika teman-temannya mulai berkumpul dan berbagi cerita membanggakan orang tua mereka, Zy selalu menghilang secara perlahan namun pasti. Apa yang bisa Zy banggakan dari kedua orangtuanya? Sama sekali tak ada! Menurut Zy, mereka bukanlah sosok orang tua yang benar dalam mendidik seorang anak, melainkan hanya sepasang insan manusia yang belum terlalu matang untuk mengurusi seorang anak. Merekalah salah satu contoh muda-mudi yang terjerumus dalam nafsu birahi yang mengatasnamakan CINTA. Entah bagaimana pola pikir mereka mengenai makna kata cinta tersebut, mungkin saja hanya sebatas kata nikmat dan enak saja. Ya, menikmati surga dunia tepatnya. Kalau siap buat anak, harusnya siap juga dong punya anak! Kalo sanggup buat anak, harus sanggup juga dong punya anak! Jangan mau enaknya dalam proses buat anak saja, tapi juga harus siap menghadapi dan mengurusi proses tumbuh berkembangnya anak ketika hadir di dunia!
            Ketahuilah, kedua orangtuanya menikah ketika mereka masih sangat belia. Coba hitung saja, usia berapa mereka menikah jika sekarang Zy sudah beranjak kuliah, sedangkan umur ayahnya saja belum mencapai angka tiga puluh lima? Kedua orangtuanya bertemu di salah satu club malam di jalan Melati. Saat itu, ayahnya memang sering bertamu disana. Walaupun, untuk anak seumurannya saat itu belum diperbolehkan. Itu bukanlah suatu hal! Orangtuanya punya saham paling banyak pada tempat itu, barang tentu ia bebas keluar masuk ke tempat haram tersebut. Minuman keras adalah teman akrabnya. Kepulan asap yang keluar dari mulutnya adalah ciri khas yang sering ia gunakan dalam menggait wanita-wanita cantik berlambang kupu-kupu malam. Umur tak jadi alasan untuk menikmati surga dunia, bahkan kesemua wanita yang pernah dicumbuinya mempunyai umur lebih tua darinya. Sedangkan ibunya, berasal dari keluarga yang cukup terpandang. Ia mampir ke club malam itu tak lain sekadar memenuhi undangan ulang tahun teman sekolahnya saja. Kenapa bisa? Ya, karena paman temannya ini adalah pemegang saham terbesar disana, yang tak lain teman ibuku adalah sepupu dari ayahku sendiri, sehingga pesta disana bisa berlangsung meriah dan gratis pula. Oke, jelas bukan bagaimana awal pertemuan kedua orangtuanya Zy bertemu?
            “Itu, lihat kelakuan anakmu! Tak ada sopannya sama sekali. Kamu harusnya bertanggung jawab. Itu anakmu! Kamu ibunya! Harusnya kamu beritahu dia, didik dia jadi anak yang bener lah. Bukan pembangkang seperti itu”
            “Aku? Kenapa kamu selalu menyalahkanku? Dia juga anakmu! Kamu juga bertanggung jawab dong. Kamu ayahnya! Like father like son! Do you know that?!”       
            “Dasar wanita jalang! Beraninya kamu menjawab kata-kataku! Istri macam apa kamu?!” bentak ayah Zy semakin menjadi.
            “Aku wanita jalang katamu? Lalu kamu apa? Lelaki bejat begitu?!” jawab Santi cepat menjawab hinaan lelakinya itu. “Harusnya kamu ngaca dulu sebelum bicara! Kamu pura-pura lupa hah? Kamu yang mengambil kesempatan atas kepolosanku dulu. Kamu kira aku mau ini terjadi hah? Kamu kira aku sudi melahirkan seorang anak dengan darah daging dari lelaki bejat sepertimu?!”
            Plakk...... tamparan keras mendarat ke pipi Santi, ibunya Zy. Dengan merintih kesakitan ia tetap meneruskan makiannya, “Bodohnya aku yang termakan bujuk rayumu dahulu, sampai-sampai tak ku indahkan nasihat kedua orangtuaku untuk tidak menjalin kasih bersamamu. Kau hanya seorang buaya licik, merampas kehormatanku, menikmati indahnya setiap lekukan tubuhku, mengambilnya hanya dengan hitungan menit saja. Persetan dengan cinta! Kau memuakkan, bajingan! Kau anggap aku sama seperti wanita malammu yang hadir disana!”
            Santi terus saja mengumpat, memaki, dan menyesali perbuatannya dengan mengeluarkan semua kata dan rasa yang selama ini tercekat di kerongkongannya. Sedang, lelakinya sudah pergi meninggalkannya beberapa saat setelah memberikan hadiah berupa pukulan ke pipinya.
            Brukkk....
            Terdengar hentakan keras dari lantai dua saat Zy membanting pintu kamarnya. Lelah. Bosan. Muak. Begitulah kira-kira yang dirasakan Zy setiap hari. Tak pernah ia rasakan kehangatan pada keluarganya, yang ia rasakan hanyalah panasnya bara api yang meletup-letup membakar habis istana yang terkesan mewah bergelimang harta. Tak ada yang tersisa, hanya abu dan kepulan asap hitam yang membumbung di udara kehidupannya. 
***
            Woi! Inget ye tugas kita, gue tunggu loe di perpus fakultas sekarang!
Begitulah pesan singkat yang dikirim Auxel. Bukan tak sopan, hanya saja Auxel setengah geram kepada Zy karena tak kunjung memberi kejelasan kapan akan membahas materi yang seyogyanya harus segera mereka selesaikan dalam waktu dekat ini.
            Deerrtt........ Deertt........
            Smartphone putih berhias pernik doraemon bergetar sesaat, menandakan ada inbox yang berkunjung ke layar smartphone tersebut. Dengan sigap Auxel melempar pandang ke arah smartphone yang sedari tadi tergeletak manis di atas meja baca perpustakaan dengan tumpukan buku yang berjejer rapi di sana.
            From : Freizy si cowok tengil
                        Sorry, gue nggak bisa hari ini. Sibuk.
            Pesan singkat yang dikirim Freizy berhasil membuat Auxel ‘shock’. Tak ada kata yang mampu terucap dari bibir mungil Auxel, hanya gemuruh ombak amarah yang tertahan memenuhi ruang dada. Auxel benar-benar malas dengan kelakuan Freizy yang terlihat tak serius dengan amanat yang diembankan kepadanya.
            “Fine, terserah lo!” Freizy membatin seraya menonaktifkan handpone-nya, lalu merapikan buku-buku yang tadi di ambilnya dari beberapa rak di pojok ruangan.
            Bukan tak bertanggungjawab atas beban yang dipikul oleh Zy. Hanya saja kejadian semalam masih saja memenuhi ruang ingatannya dan berhasil membuatnya sesak seharian. Semua dialog yang terucap antara ayah dan ibunya terekam jelas di otaknya. Betapa sakitnya mengetahui bahwa ia hanyalah korban dari kelakuan ayah ibunya yang sangat tak pantas di lakukan di masa muda mereka. Terlebih, ketika Zy mengetahui bahwa dirinya adalah segumpal daging yang sama sekali tak diharapkan untuk hadir di dunia fana ini, begitu memilukan.
            Pantas saja, fikirnya!
            Namun apalah daya, ini adalah hidup. Tak ada waktu yang bisa kembali berputar ke masa lampau. Detak jam selalu berjalan membawa sebuah cerita ke masa depan yang harus segera diselesaikan. Mau tidak mau, suka tidak suka, semua harus tetap berjalan. Ya, masa depan yang terbentuk sebagai kelanjutan hidup di masa lalu. Boleh jadi masa lalu begitu kelam, tapi masa depan masih suci. Masih ada waktu untuk memperbaiki semuannya, bahkan untuk mengubah warna gelap di masa lalu menjadi terang di masa depan. Begitulah kiranya.
            Zy selalu mencoba berdamai dengan takdir. Seringkali ia ingin mengeluarkan air matanya, tapi ah lelaki! Zy terlalu gengsi untuk mengeluarkannya, sampai akhirnya ia hanya memendamnya saja hingga pada akhirnya ia terbentuk menjadi seorang lelaki yang cukup idealis dan terkesan individualis. Bersikap dingin, cuek, dan tak menghiraukan apa kata orang lain atas dirinya. Jika menurutnya apa yang ia lakukan tak merugikan orang lain dan tidak keluar dari koridor yang benar, tak apalah!
            Sebagai seorang manusia normal yang tak punya pegangan hidup dan tempat berbagi, ingin rasanya ia hempaskan kisah hidupnya ke jalan yang salah, jalan yang mampu memberikan nikmat untuk sekadar melupakan sejenak kisah hidupnya yang menyayat hati, biar saja toh tak kan ada yang perduli. Namun, di lain sisi, batinnya menolak secara penuh. Jika itu terjadi, lantas apa bedanya ia dengan lelaki bejat yang menabur benih di rahim ibunya itu?!
            Bertahun-tahun Zy mencoba menjadi seorang anak lelaki yang “baik-baik” baik dalam pergaulan maupun akademiknya. Tak jarang ia menduduki peringkat kelas selama masa pendidikannya. Sama seperti anak-anak lain pada umumnya yang ingin membuat orang tua mereka bangga pada anak-anaknya, itulah yang ingin ditujukkan Zy. Huh, apalah daya, tak pernah sedikitpun usaha Zy dilirik oleh kedua orangtuanya. Menyerah? Tidak! Zy terlanjur menjadi sesosok lelaki yang tangguh dalam hidup. Biar saja semua yang dilakukannya selalu diacuhkan begitu saja. Ia hanya percaya suatu saat nanti, semua akan berubah menjadi apa yang ia mau dengan kegigihannya merubah nasib hidupnya seorang diri.
***
            Tok... Tok...
            “Assalammualaikum”
            Terdengar sebuah ketukan dari daun pintu ruang tamu, berikut dengan salamnya. Suara yang sedikit asing di telinga para penghuni rumah. Suara lelaki muda dengan seraknya yang begitu khas menunjukkan usia yang masih berkisar dua puluh tahun. Di balik pintu, masih menunggu dengan sabar sesosok seorang pria berpakaian rapi dengan balutan kemeja kotak-kotak berwarna sedikit cerah dipadukan dengan setelan jins hitam menutupi kakinya yang jenjang menunggu pintu itu terbuka dan mempersilahkan ia masuk. Berbeda dengan keadaan di dalam rumah itu sendiri, semua mendadak bertanya-tanya akan sesosok makhluk yang bertandang ke rumah kediaman pak Felix tepat saat jam makan malam. Pak Felix yang baru menyuap sesendok nasi ke mulutnya itu dengan segera mengalihkan pandang ke istrinya dengan sedikit mengayunkan kepalanya ke atas sehingga dagunya mendongak sedikit, seolah bertanya “siapa itu?” Tak mau kalah, istrinya yang seolah dapat membaca fikiran suami tercintanya itu dengan cepat membalas dengan sebuah gelengan, yang memberikan isyarat ketidaktahuaannya. Lantas, dengan seksama, ibarat ada ikatan batin yang kuat antara suami dan istri, mereka menukar pandang ke anak gadis satu-satunya yang sangat mereka cintai, lalu bersama-sama mendelik seolah bertanya, “Auxel, teman lelakimu kah itu?”
            Auxel yang mendapat perlakuan secara tiba-tiba dan dengan waktu yang bersamaan antara ayah dan ibunya, sontak membuat ia tersedak dengan makanan yang baru saja ia daratkan ke mulutnya, “Mommy, Daddy, I don’t know about that!”, begitulah sergah Auxel cepat.
            “Walaikumsalam”, terdengar mereka kompak mejawab salam dari seberang pintu. Nyonya Felix berangkat dari kursinya sejenak, membukakan pintu untuk memenuhi rasa keingintahuan semua penghuni rumah akan tamunya malam ini.
            Freizy memandang sesosok wanita paruh baya nan bersahaja membuka pintu untuknya, masih dalam keadaan tegap dihiasi senyuman manis di wajahnya, Freizy mengungkapkan maksud kedatangannya, “Maaf, saya menganggu. Saya Freizy teman kuliah  Auxel. Maksud kedatangan saya hanya sekedar memberikan dokumen dan beberapa file lainnya untuk Auxel”.
            Gaya bahasanya yang sopan dan terkesan apa adanya, berhasil membuat ibunda Auxel kagum sejenak. Seolah mengerti maksud dan tujuan tamunya malam ini, ibunda Auxel mempersilahkan Zy masuk dan langsung menawarkannya untuk ikut bergabung makan malam bersama keluarganya. Tak ada penolakan dari Zy. Entah mengapa untuk kali ini, ia tidak mencoba untuk menghindari rasa manis sebuah keluarga yang dulu sangat dihindarinya. Mungkinkah ia memang sangat merindukannya? Atau mungkin ada setitik keteduhan dari mata nyonya Felix yang tak pernah ia temui pada ibu kandungnya. Entahlah...
            Ibunda Auxel dan Freizy melangkah bersamaan menuju ruang makan. Lagi lagi, untuk kedua kalinya, Auxel kembali tersedak oleh makanan yang baru dilahapnya beberapa detik yang lalu. “Omaigatttttt... Mau apa ini orang datang ke rumah?! Mengesalkan! Seenaknya saja. Datang tak diundang, pulang dengan sebuah usiran dariku nanti, tunggu saja!” batin Auxel.
            Tanpa sadar, sedari tadi Auxel menatap lekat lelaki yang kini duduk tepat di hadapannya seraya mengetuk-ngetuk garpu dan sendok di piringnya. Auxel kehilangan selera makan, ia lebih selera untuk mengetahui maksud serta tujuan si lelaki tengil ini datang ke rumahnya. Oh ya, tentu saja, ia tak mengerti, darimana lelaki menyebalkan ini mengetahui rumahnya. Sedang, Freizy sangat menikmati hidangan makan malam yang tersaji di sana. Sesekali ia melempar senyum ke arah Auxel, ibu dan ayahnya. “Andai saja, aku mendapati hal yang sama seperti ini di rumah”, batin Freizy.
            Kedua orang tua Auxel tak mengerti apa yang terjadi antara keduanya. Terlebih pada perilaku Auxel yang berubah sedemikian cepat, berbeda dengan biasanya. Namun, mereka tak mau usil mencampuri urusan muda-mudi di hadapannya. Orang tua Auxel dengan cepat pula menganggap Freizy sebagai anaknya, karena bertahun-tahun mereka tinggal dengan anak semata wayangnya, baru kali ini ada teman pria Auxel yang dengan gagah berani mengetuk pintu rumah mereka. Bukan dengan maksud untuk memacari tentu saja, melainkan untuk sekadar memenuhi kepentingan akademik di perkuliahan. Ya, mungkin itu satu point yang berhasil menjadikan Freizy naik satu tingkat dibandingkan lelaki seumuran dirinya.
            Beberapa pertanyaan meluncur dari mulut ayah Auxel seperti; Sejak kapan mengenal Auxel? Semester berapa ia sekarang? Belajar di jurusan apa? Penghargaan apa saja yang pernah ia raih?; Ya, pertanyaan ringan dan umum saja yang diutarakan. Simpel, namun begitu berkesan di hati Freizy. Tahu sendirilah, orang tuanya tak pernah bertanya sedikitpun tentang dirinya.
***
            Pukul 10.00 WIB
            Freizy memakirkan sebuah jazz putih di parkiran kampus, tepat di sebelah mobil berplat BG 4 XL. Kedua pemilik mobil itu serentak keluar dari mobilnya masing-masing bersamaan. Dannnn.... “Eloooo”, seru keduanya kompak saling tunjuk.
            “Ngapain lo markir mobil sebelah gue, ha? Sengaja ngintilin gue, ya?”
            “Kegeeran lo!” jawab Zy dingin –lagi—
            “Dasar, cowok jadi-jadian. Ga bisa baik kali ya jadi orang. Ngomong irit amat, bayar kali ye dia kata perhurufnya. Dasar,  nyebelin setengah mampus lu! Udah nabrak gue tempo hari, terus udah buat gue nunggu di perpustakaan, eh taunya lu jawab gampang Gak Bisa! Terus, gue lagi nikmatin makan malam, eh elu nongol tanpa undangan buat selera makan gue mendadak hilang. Sekarang muncul tiba-tiba, jawab sekenanya lalu pergi lagi gitu aja. Dasaaarrr......” Auxel memaki dalam hati memandangi punggung Freizy yang lambat laun menghilang dari pandangannya.
            Dreett... Dreett..
            Tiba-tiba ada satu pesan masuk ke layar hp nya. Olala.. dari makhluk yang belum ada lima menit dimakinya tadi.
            Gue tunggu di perpustakaan sekarang!
            Begitulah bunyi pesan singkat itu, pesan yang hampir sama yang ia kirimkan ke Freizy beberapa waktu yang lalu. Ingin rasanya ia juga membalas hal yang sama, bilang tidak dengan mudahnya. Namun, ah! Tak mungkin, sudah waktunya mereka merampungkan semua materi perlombaan itu. So, sangat amat terpaksa Auxel menyeret kedua kakiya ke perpustakaan fakultas. Freizy telah menanti dengan perasaan senang dan menang telah berhasil mengerjai gadis cerewet itu.
            15 menit kemudian....
            Auxel telah duduk sama rata dengan Freizy. Seperti biasa, tanpa dikomando Freizy mengambil alih semuanya. Tak pernah memberikan izin kepada Auxel untuk berpendapat. Auxel hanya punya waktu mengumpat Freizy yang kemudian sudah barang tentu di tinggalkan begitu saja oleh Freizy. Sebenarnya, Auxel cukup mengakui keahlian dan pemikiran Freizy yang dianggapnya berada di atas rata-rata pemuda yang sama menimba ilmu di kelasnya. Bagaimana tidak, teman dikelasnya lebih terkesan santai dan tidak peduli dengan materi perkuliahan, jangankan mengeluarkan ide atau sanggahan dalam proses belajar diskusi, terkadang membuat tugas saja mereka merasa enggan melakukannya sendiri. Selalu saja memindahkan hasil dari orang lain ke selembar tugas mereka. Ah, bagaimana hendak dijadikan panutan lelaki seperti itu!
            Setelah Freizy berpamitan dari rumahnya semalam, Auxel dengan teliti membaca semua tulisan yang di rangkum Freizy sebagai materi pada karya ilmiah yang diembankan pada mereka berdua. Entah, Auxel teramat kagum dengan gaya bahasanya yang lugas, tepat dan satu pemikiran dengannya. Jika biasanya Auxel selalu membenarkan atau merevisi tugas kelompok yang dibuat teman sekelasnya untuk makalah-makalah yang akan mereka diskusikan, tidak untuk kali ini! Tak ada satu pun celah yang membuat Auxel untuk berkutik melakukan revisi pada tulisan lelaki berhati dingin itu.
            “Nih, sisa tulisan yang semalam”, Freizy menyodorkan beberapa draft ke atas meja. Auxel mencoba melakukan hal yang sama sperti Freizy, mengacuhkan perkataannya. Freizy menahan geli melihat gadis cerewet yang tengah bersamanya ini mendadak diam dan hanya memalingkan muka saja. Terkesan sangat dipaksakan. “Tak perlu di revisi lagi, menurutku semua tulisanku itu cukup untuk membuat kita menyabet kemenangan pada karya tulis ilmiah nanti. Cukup kamu pelajari saja. Aku pun yakin kamu bisa memahaminya dengan cepat”, lanjut Freizy menerangkan.
            “Sombong...........................”Teriak Auxel dalam hati. “Ah, aku sama sekali tak diberi kesempatan untuk ikut mengerjakan projek ini. Ini tugas team, kan? Kenapa seolah hanya elo, ha?” lanjut Auxel memekik dalam diamnya.
            “Ya, tapi kalau dikira perlu, silahkan saja revisi tulisanku. Nih, laptopnya. Untuk materinya bisa cari sendiri di rak pojok kanan sana”, Freizy menunjukkan arah yang dimaksud pada Auxel. “Gue laper, kantin bentar ya! Selamat mengerjakan, gadis bawel!”
            “Freizyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyy.............” pekik Auxel begitu keras. Kini tak lagi dipendamnya dalam hati. Ia benar-benar berteriak di dalam perpustakaan, kontan membuat semua pengunjung di sana menatap ke arahnya dengan tatapan monster.
***
            Tok... Tok...
            Lagi dan lagi. Tepat pada jam makan malam di kediaman pak Felix, daun pintu di ruang tamunya terketuk. Dan kini, tanpa dikomando, Auxel berlari bak kilat membuka pintu rumah mereka. Ayah ibunya hanya tersenyum melihat tingkah anak gadisnya.
            “Tuh kan, elo lagi! Ngapain lagi sih?” tukas Auxel ketika mendapati Freizy di sana.
Belum sempat Freizy menjawab, teriakan ibunya menggema, “Masuk saja nak Freizy, kita makan malam bersama lagi ayo”
            “Hey, nyonya Auxel yang bawel, udah denger kan? Gue di suruh masuk dan makan malam bersama”, Freizy berucap pelan tepat di daun telinga Auxel, kontan membuat pipinya memerah karena jarak mereka yang begitu dekat diirngi dengan desahan nafas yang begitu lembut. Freizy melangkahkan kaki mantap ke arah ruang makan meninggalkan Auxel terpaku di muka pintu. Sebelum tiba-tiba.........
            Freizy berbalik ke ruang tamu, menggenggam erat jemari Auxel yang sedari tadi tak bergerak sedikit pun. “Woi, cepetan lah! Gue laper tau! Masa lu mau jadi penjaga pintu gitu, gak laper ha?” bentakan Freizy membuyarkan lamunan Auxel. Tak sadar, Auxel membiarkan lelaki tengil itu menggenggam erat tangannya sampai ke ruang makan.
            “Maaf, tante, om, lama. Tadi si Auxel mematung di muka pintu. Jadi, saya terpaksa menyeret tangannya ke sini. Kan lumayan lagi lapar ditawarin makan sama tante”, Freizy menerangkan dengan nyinyir.
            Inilah Freizy dan Auxel. Muda-mudi yang selalu bertolak belakang kehidupan serta kelakuannya. Namun, bak medan magnet yang selalu terikat pada gaya tarik-menariknya. Freizy yang selalu mendapat tempat di keluarga Auxel, satu-satunya keluarga yang mampu membuat ia merasakan kenyamanan menggantikan posisi kedua orang tuanya di rumah. Sebuah keluarga kecil yang mampu memberi arti besar untuk sebuah makna keluarga yang selalu dirindukannya sedari kecil.
            Kini, Freizy tak pernah lagi bersusah payah mencari alasan untuk datang ke rumah Auxel karena yang empunya rumah membuka lebar pintu rumahnya untuk Freizy. Bagi mereka, ayah dan ibunda Auxel, Freizy mampu sedikit demi sedikit merubah sikap dan pola pikir anak gadis semata wayangnya dalam menghadapi kenyataaan hidup. Apa lagi, setelah Auxel memberitahukan sebuah tulisan yang ia temukan tanpa sengaja di salah satu file yang tersimpan di laptop milik Freizy kepada orang tuanya tentang semua keluhan yang dialami Freizy di kehidupannya. Ya, semacam sebuah diary.
            Inilah kehidupan. Tak ada yang pernah tahu bagaimana sejarah kehidupan keluarganya sebelum ia terlahir ke dunia dan tak ada kesempatan pula dalam memilih untuk menentukan jatuh di keluarga seperti apa nantinya. Namun, realistislah! Semua tak akan berubah jika kau hanya diam begitu saja, tanpa mau merubah apa pun yang kau inginkan!  Sama seperti halnya Freizy, ia pun tak mau jika harus masuk ke kehidupan orang tuanya  yang sungguh maha hina di mata masyarakat pada umumnya. Andai bisa memilih, sungguh ia berharap menjadi salah satu bagian dalam keluarga Auxel yang selalu menerima keberadaannya.
                       


Komentar

  1. ini cerita butuh bimbingan ortu nih. ada kata2 yg agak kasar. hehe
    overall, lumayan lah, lumayan panjang maksudnya.. hehe
    kalo ceritanya bagus neng. bisa menyadarkan kita kalo hidup di dunia ini harus bnyak2 bersyukur.. paling suka paragraf terakhir ttg diari. ada kata2 yg memotivasi :) well done dah (y)

    BalasHapus
    Balasan
    1. iyaa.. kalo di tv banyak sensornya nih kata-kata.. hehe

      baru nyadar ni panjang banget -_-
      jadi cerpen kepanjangan, jadi cerbung paling cuma dua part aja, jadi naskah novel ga kecapai -_- *mendadak galau*

      yes..
      alhamdulillah kalo ceritanya ada manfaatnya ^_^
      tengkyu bang..

      Hapus
  2. tak banyak kata, langsung saja. CERITANYA BAGUS! aku sih YES, tau deh kalo mas anang.

    BalasHapus
  3. Lumayan manis, tapi kepanjangan ya kalo untuk cerpen hehe.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer