Beban anak pertama, itu.............
Hahhh....
Jadi anak pertama itu ya punya beban tersendiri yang gak bisa dirasain anak kedua, ketiga, dan seterusnya, apalagi sama anak tunggal.
Jadi anak pertama tuh mesti hati-hati banget, karena namanya anak pertama pasti dijadiin panutan sama adek-adeknya kan?
Ya, itulah yang aku rasain sekarang.
Entah,
apakah semua orang akan berpikir sama seperti yang aku fikirkan saat ini.
Aku ini gadis yang terlahir sebagai anak pertama sekaligus cucu pertama di keluargaku, yang punya banyak sekali mimpi dalam hidup.
Kadang, aku lelah jadi anak pertama, rasanya pengen banget punya seorang kakak yang bisa diajak berbagi beban. Ada seorang kakak yang bisa dipeluk buat nenangin diri dan dengan rela menghapus air mata ini. Ada seorang kakak yang selalu sedia menyanggah kepala ini di pundaknya. Ah!
Kalo ngomongin beban sih, mungkin ini ga seberapa, tapi cukup mengangganggu fikiranku.
Namanya sebuah keluarga itu pasti erat kaitannya dengan dua buah keluarga besar yang berbeda, lalu membaur menjadi satu, keluarga dari pihak papa dan mama.
Kalo dari papa, aku ini cucu yang kesekian, dan kakak sepupuku pun ada beberapa yang sudah menikah, dan nyatanya mereka semua menjadi "orang" setelah lulus masa pendidikannya.
Aku?
Aku ingin menjadi bagian salah satu dari mereka, yang "berhasil" dan "membanggakan" orang tua mereka dan keluarga besar tentu saja.
Sedang, kalo dari pihak mama, aku ini cucu pertama. Dan itu loh bebannya yang super double.
Aku selalu berusaha menjadi baik, dan terlihat baik, walaupun dalam keadaan yang tidak baik sekali pun.
Sempat ada perang batin di hati ini,
Aku selalu punya keinginan yang kuat. Aku bahkan menjadi "kepala batu" jika telah punya keinginan. Orang tuaku mungkin sudah sangat hapal untuk itu. Karena bagi mereka, aku tak kan bertahan jika aku merasa aku tak bisa mendapatkannya. So, saat aku punya tekad dan mimpi, mereka tak pernah menolaknya, hanya saja mereka sering kali memberikan beberapa argumen dengan tujuan menjatuhkan niatku yang otomatis mengusikku. YA, katanya sih agar mereka tau seberapa kuat aku menginginkan apa yang aku mau, dan seberapa pantas aku mempertahankannya.
So, great!!
Jadi anak pertama itu ya punya beban tersendiri yang gak bisa dirasain anak kedua, ketiga, dan seterusnya, apalagi sama anak tunggal.
Jadi anak pertama tuh mesti hati-hati banget, karena namanya anak pertama pasti dijadiin panutan sama adek-adeknya kan?
Ya, itulah yang aku rasain sekarang.
Entah,
apakah semua orang akan berpikir sama seperti yang aku fikirkan saat ini.
Aku ini gadis yang terlahir sebagai anak pertama sekaligus cucu pertama di keluargaku, yang punya banyak sekali mimpi dalam hidup.
Kadang, aku lelah jadi anak pertama, rasanya pengen banget punya seorang kakak yang bisa diajak berbagi beban. Ada seorang kakak yang bisa dipeluk buat nenangin diri dan dengan rela menghapus air mata ini. Ada seorang kakak yang selalu sedia menyanggah kepala ini di pundaknya. Ah!
Kalo ngomongin beban sih, mungkin ini ga seberapa, tapi cukup mengangganggu fikiranku.
Namanya sebuah keluarga itu pasti erat kaitannya dengan dua buah keluarga besar yang berbeda, lalu membaur menjadi satu, keluarga dari pihak papa dan mama.
Kalo dari papa, aku ini cucu yang kesekian, dan kakak sepupuku pun ada beberapa yang sudah menikah, dan nyatanya mereka semua menjadi "orang" setelah lulus masa pendidikannya.
Aku?
Aku ingin menjadi bagian salah satu dari mereka, yang "berhasil" dan "membanggakan" orang tua mereka dan keluarga besar tentu saja.
Sedang, kalo dari pihak mama, aku ini cucu pertama. Dan itu loh bebannya yang super double.
Aku selalu berusaha menjadi baik, dan terlihat baik, walaupun dalam keadaan yang tidak baik sekali pun.
Sempat ada perang batin di hati ini,
Aku selalu punya keinginan yang kuat. Aku bahkan menjadi "kepala batu" jika telah punya keinginan. Orang tuaku mungkin sudah sangat hapal untuk itu. Karena bagi mereka, aku tak kan bertahan jika aku merasa aku tak bisa mendapatkannya. So, saat aku punya tekad dan mimpi, mereka tak pernah menolaknya, hanya saja mereka sering kali memberikan beberapa argumen dengan tujuan menjatuhkan niatku yang otomatis mengusikku. YA, katanya sih agar mereka tau seberapa kuat aku menginginkan apa yang aku mau, dan seberapa pantas aku mempertahankannya.
So, great!!
Lalu, letak bebannya dimana?Oke, ya, bebannya itu :
- Harus lebih pintar dari adek-adeknya.
Jadi pas mereka tanya, aku harus bisa jawab. Mau itu bidang akademik-kah atau pun pertanyaan aneh dan bodoh lainnya. Aku harus bisa menjawabnya dengan menyesuaikan umur mereka masing-masing.
Bahkan karena ini pula lah, aku menginginkan mereka terlihat pandai di sekolahnya. Aku tak ingin, bahkan tak rela jika mereka tak pandai di bidang akademiknya karena aku tak mau mereka terlihat kalah denganku. Mereka harus leih dari diriku. Dulu aku selalu dinomorsatukan di sekolah, semua wali kelas, wali siswa, dan beberapa pejabat penting sekolah mengenalku berikut prestasiku. Ya, walaupun memang nyatanya aku pernah tersungkur karena ada beberapa pihak yang tentu saja tak menyukai diriku. Aku ingin mereka lebih dari diriku, tanpa merasakan pahitnya kehidupan di sekolah yang dulu pernah aku alami. - Menjadi aset perbandingan pertama
Point ini penting banget. Mau apa pun dan gimana pun keadaannya. Mau gak mau, selalu dijadiin bahan perbandingan. Jadi, aku harus memantaskan diriku sebaik mungkin, karena gak mungkin suatu ojek perbandingan punya nilai yang rendah kualitasnya. - Menjadi seorang yang pandai berpura-pura
Pernah ngerasain sakitnya nahan air mata biar ga keluar dari liangnya? Pernah ngerasain amarah yang membeludak di dasar dada, tapi tak bisa diungkapkan? Pernah pengen ngomong tapi takut terlihat melow?
Ah, aku pernah!
- Aku harus berpura-pura tenang saat mama mulai resah dengan beberapa kejadian yang menyangkut adik-adikku, terutama yang menyangkut tentang asmara dan lelaki. -___-
- aku harus terlihat baik-baik saja saat papa atau mama masuk di rumah sakit, menahan air mata saat salah satu dari mereka meneteskan air matanya.
- aku harus berpura-pura untuk tidak melihat saat papa yang begitu resah sampai membenturkan tangannya di tembok hingga berdarah karena kebingungan mencari dana saat mama di rumah sakit dan tak ada yang bisa membantu.
- aku harus pandai berucap saat adik-adikku mulai bertanya "kenapa lebaran tahun ini kita gak sama mama dan papa. Kenapa Allah biarin papa sakit, dan kita menikmati gema takbir tanpa orang tua di sisi kita"
- aku yang mesti berpura-pura terlelap saat mama mulai memanjatkan doa kepada sang ilahi dengan mendengar beberapa butir doa yang dipanjatkan berikut dengan isaknya. - Masih belum bisa memberikan materi
It's soooo beban banget!!! Sebagai anak pertama tuh harusnya udah bisa ngasilin uang sendiri. Bisa ngasih mama sama papa gaji sendiri. Bisa ikut bantu sekolahin adek. Tapi, nyatanya apa? Masih kuliah, bahkan adikku harus mengalah demi diriku yang meneruskan kuliah. Dia lagi-lagi mengalah untuk tidak kuliah, memilih kerja membantu papa. Ah, harusnya itu kewajibanku, bukan adikku!
Entah, itu semua beban yang aku rasain.
Aku tidak sedang mengeluh, hanya saja aku ingin menumpahkan apa yang mengganjal hati dan fikiranku.
Aku selalu merasa bersalah jika beban itu terus menganga tanpa ada perbaikan dari diriku sendiri.
Atau bahkan mereka harus terus mengkhawatirkan kondisi kesehatanku.
Ah, mama, papa!
Percayalah, anakmu ini akan baik-baik saja. Diamnya anakmu ini penuh dengan pemikiran kok. Hehe :')
Memang anakmu ini pernah jatuh sakit karena silaunya dunia, tentang cinta yang tak seharusnya tumbuh lalu menjadi duri di kehidupan yang dijalani. Tapi, ini hidupkan? Anakmu ini mungkin harus merasakan sakit agar bisa mengerti pahitnya dan sulitnya hidup yang kalian jalani, bukan? Paling tidak, mungkin ini cara untuk menumbuhkan kedewasaanku, dimana cinta dari lawan jenis bukanlah satu-satunya pembahasan penting di hidup ini. Ibaratnya, itu hanya penyejuk yang semu. Toh, saat sudah punya ikatan resmi dan sakral pun, tak ada jaminan jika tak ada air mata dan luka di dalamnya -karena cinta-
Aku anak pertamaaaaaaaa :')
BalasHapusapakah kita punya beban yang sama?
Hapus:')