17 September yang Ceria


“Allah selalu mengetahui apa yang tidak hamba-Nya ketahui. Akan ada hal manis yang tercipta dari setiap kisah-kisah yang telah ditetapkan-Nya”, Aku mengakhiri tulisan di buku diary milikku, lalu menutupnya. Aku senderkan kepalaku di atasnya. Tak kusadari fikiranku terbang hingga membawa anganku kembali mengingat beberapa peristiwa yang bersangkutan dengan pemuda itu. Seorang pemuda tampan yang mampu menghiasi relung hatiku.
**
 “Assalammualaikum”
“Walaikumsalam”, dia menjawab salamku dari seberang sana.
“Maaf kak mengganggu, ada yang ingin Saras sampaikan”
“Ada apa, Dik? Silakan saja sampaikan padaku” suara khas miliknya yang lembut, mampu menggetarkan dan menyejukkan hatiku setiap kali aku mendengar suaranya. Terlintas difikiranku untuk membatalkan niatku kepadanya, namun apa mau dikata, keinginanku telah bulat. Aku pun memberanikan diri untuk menyampaikan tujuanku hari itu.
 “Kak, Saras ingin kita sudahi saja hubungan ini. Kita akhiri semuanya.”
“Apa, Ras? Kamu ngomong apa, Ras? Aku tidak mengerti dengan ucapanmu”
“Maafkan Saras, Kak. Maafkan keputusan Saras yang mungkin menyakitkan hati kakak. Tapi ini adalah keputusan Saras. Saras mohon kakak bisa menerimanya. Saras berharap suatu saat kakak bisa mengerti dan memahami tujuan dari keputusan yang telah Saras ambil saat ini” , tanpa mendengar jawaban darinya –Ikhwan Bukhori Berlin Adwensyah- Aku menutup telepon dan mengakhiri percakapan kami. Dan dengan segera aku menonaktifkan hp ku agar dia tidak lagi menghubungiku.
Aku tersenyum lega telah berhasil mengungkapkan keputusanku. Namun, di lain sisi, dadaku terasa sesak dan hatiku kembali bergetar. Aku tahu perasaannya, bingung, terkejut, kecewa, dan marah bercampur menjadi satu perasaan komplit yang sangat menyakitkan bagi dirinya karena keputusan secara sepihak dariku.
Aku melakukan hal itu bukan tanpa sebab. Aku memilih untuk mengakhiri hubunganku dengannya saat itu karena aku merasa telah melakukan kesalahan sejak  pertama mengenalnya. Bagaimana tidak? Aku dan dia berkenalan ketika aku baru pertama kali duduk di bangku SMA.
Hubungan aku dan dia bermula ketika aku dan dia tidak sengaja berkenalan ketika kami sama-sama menggunakan fasilitas MIRC untuk melakukan obrolan –chat-  di dunia maya, dia adalah salah satu dari teman chat-ku. Dimulai dengan obrolan-obrolan ringan, humor-humor renyah hingga tukaran kontak hp. Aku semakin dekat dengannya dan terbiasa berkomunikasi dengannya. Hingga pada puncaknya dia mengungkapkan isi hatinya kepadaku dan aku pun dengan senang hati menerima perasaannya. Hubunganku dengannya berjalan mulus tanpa liku sedikit pun selama lima bulan. Namun di awal bulan keenam dari hubungan kami, aku merasa semua yang telah aku jalani hanya semu belaka. Aku bosan. Aku jenuh. Aku bingung. Aku dan dia memang berpacaran, tetapi kami sama sekali belum pernah bertatap muka secara langsung. Aneh bukan?
Bukan hanya itu alasanku memilih untuk mengakhiri hubunganku dengannya.  Sebelum hari itu, aku sempat mendengarkan sebuah pesan singkat di radio yang menyatakan bahwa “PACARAN DILARANG DALAM ISLAM”. Aku terenyuh mendengar satu kalimat itu, semalaman aku memikirkannya hingga aku tidak bisa tidur tenang seperti biasanya. Begitu banyak pertanyaan yang muncul dikepalaku, dimana aku sendiri tak mampu untuk menjawabnya.
 “Apakah aku telah berdosa telah berpacaran?”
“Apakah yang kulakukan semua ini hanya menumpuk dosa-dosaku saja?”
“Kalau semua itu benar, lantas apa yang menyebabkan diriku berdosa? Bukankah aku dan dia saja tidak pernah bertatap muka, apa lagi untuk melakukan hal-hal yang sifatnya dosa.”
**
Hari ini adalah hari pertamaku dalam mengikuti kegiatan OSPEK di IAIN RADEN FATAH PALEMBANG. Aku terdaftar sebagai mahasiswi di Fakultas Syari’ah tanpa tes.  
“Hore........... Hore............ Lulus.........................”
Begitulah teriakan teman-temanku yang selalu terngiang ditelingaku sesaat setelah mereka dinyatakan lulus UN tingkat SMA tahun lalu. Ya, sama seperti mereka, aku pun merasa sangat gembira dan bersyukur karena aku bisa melanjutkan study ku ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi –Perguruan Tinggi-
“Hey, kamu! Kenapa masih mematung disini! Ayo cepat menyusul barisan kelompokmu”, teguran dari kakak dampingku yang membuat lamunanku buyar seketika.
“Ma..aaf.. Kak”, aku berlari menuju barisanku.
Sambutan demi sambutan disampaikan ketika acara OSPEK hari pertama dimulai. Aku sama sekali tak memperhatikannya. Fikiranku terganggu oleh seorang laki-laki yang tadi menegurku. Aku merasa pernah bertemu dan mengenalnya sangat dekat. Tetapi aku tidak tahu kapan dan dimana itu. Aku terus mencari dan berusaha menemukan sosoknya difikikiranku. Tetap saja tak mampu. Hingga acara di aula selesai dan satu persatu mahasiswa lainnya meningalkan aula tersebut, aku masih terdiam dengan lamunanku. Hingga pada akhirnya, lagi-lagi aku mendapat teguran dari lelaki itu. Malu? Ya, tentu saja itu yang kurasakan. Terang saja, aku telah ditegurnya dua kali hari itu dengan satu kejadian yang sama yaitu “MELAMUN”. Aku terhanyut dengan lamunanku sendiri.
Tak kutanggapi rasa malu itu karena keinginanku untuk mengetahui siapa dirinya terlalu besar. Akhirnya kuberanikan diri untuk bertanya kepadanya,
“Afwan, Kak. Apakah kita pernah bertemu sebelumnya? Aku merasa telah mengenal kakak sebelumnya. Tepatnya, sebelum aku menjadi mahasiswi di kampus ini”
Dia hanya tersenyum mendengar sederet pertanyaanku. Dan berlalu meninggalkanku. Aku kesal setengah mati dengan sikapnya yang tak ramah itu. Namun, beberapa detik kemudian, dia memanggilku “Saras” , aku menoleh seketika mendengar namaku disebut olehnya, “Temui aku setelah kegiatan OSPEK berakhir”, lanjutnya. Aku terdiam membisu, entah apa yang akan terjadi nanti.
“Assalammualaikum, ya ukhti” sapaan hangat yang sangat kurindukan pemiliknya.
“Walaikumsalam”, aku menjawab salamnya. “Ada apa kak? Apakah aku akan diberi hukuman karena sepanjang kegiatan aku melamun? Lalu bagaimana kakak bisa tahu dengan namaku?”, pertanyaan yang bertubi-tubi kembali ku lontarkan padanya.
Tanpa memperdulikan pertanyaanku, dia berkata “Hai, apa kabar kamu? Masih ingatkah kamu kepadaku? Mungkin ini bukan kebetulan, tapi ini adalah jalan terbaik dari Allah SWT. untuk kita setelah tiga tahun lamanya kita tak pernah lagi berkomunikasi. Tak disangka kita dipertemukan secara langsug di kampus ini. Tahukan kamu? Setelah hari itu, aku sangat membenci dirimu, aku menyesal mencurahkan perasaanku hanya kepadamu. Namun, lama-kelamaan aku mulai menerima dan membiarkan diriku dalam fikiran positif terhadapmu. Kini, bisakah kita memulai dari awal lagi?”
Aku kembali terhenyuk untuk kedua kalinya. Aku terdiam. Aku tak mampu berbicara. Ternyata inilah jawabannya mengapa sedari tadi aku sangat ingin mengetahui siapa sosok lelaki ini. Dia adalah mantan kekasihku. Aku memberanikan diri untuk berucap, “a..a..a...ku masih ingat kok. Tapi, ma..ma..af ya kak. Sampai saat ini pun aku belum pernah pacaran, dan akupun tidak ingin berpacaran lagi, cukuplah kakak saja menjadi pacar terakhirku saat itu”.
Dia tersenyum sangat lebar mendengar ucapanku. Senyumannya mampu menggetarkan hatiku kembali. Aku sungguh tak menyadari ucapanku. Sampai akhirnya dia berkata, “Terimakasih, Saras. Izinkan aku membuat ucapanmu barusan menjadi nyata. Izinkan aku untuk menjadi pacar terakhir di kehidupanmu, biarkan kita mulai semua kembali dari awal. Tenang. Aku tak akan memintamu untuk menjadi pacarmu kali ini. Tapi aku memintamu untuk menjadi pendampingku nanti. Biarkan aku berta’aruf denganmu”
Ya, Rabb. Apakah ini hal indah yang Kau janjikan kepadaku setelah pahitnya masa itu, masa jahiliyah yang dulu kujalani?
Aku tertegun mendengar pernyataannya, dan kini aku yang membalas senyumannya seraya berkata, “Jika kamu bersungguh-sungguh dengan ucapanmu, segeralah temui orangtuaku, sampaikan niat baikmu kepada mereka. Dan tolong, jangan kamu dekati aku selagi kita masih belum berada dalam satu ikatan yang halal. Jika ta’aruf yang kamu inginkan, kurasa dari dulu juga kamu telah mengenalku. Nanti, jika kamu telah mampu untuk melamarku, datanglah dengan segera untuk melamarku. Aku menantimu dan ingin menjadi pacarmu kembali dalam satu ikatan yang telah dihalalkan.”
“Aku berjanji. Aku tidak akan lagi menemuimu sampai saatnya nanti aku datang ke rumahmu untuk melamarmu. Aku juga ingin kamu menepati janjimu untuk menantiku. Bila telah tiba harinya nanti, aku akan menyabutmu sebagai permaisuri hatiku dan pacar terkasihku lagi seperti dahulu.”
Itulah ucapan terakhir yang aku dengar darinya, sosok lelaki yang sedari tadi menegurku. Betapa indah hari ini, momen di hari kelahiranku dan dirinya yang mungkin sulit untuk dilupakan. 17 September yang ceria. Kado terindahku. Ku genggam janji itu dan kupeluk erat novel darinya “Sungguh Aku Mencintaimu karena Allah” sebagai kado penguat keyakinanku akan janjinya.
**
Pacaran atau ta’aruf? Mending nikah aja deh J

Naskah ini telah diikut sertakan dalam event yang diadakan oleh PENA INDHIS, dan berhasil menjadi salah satu kontributor pada buku (Mpud) :







Komentar

Postingan Populer