Cinta Mbak Vina

  “Huhh...!” , aku menghela nafasku. “Akhirnya selesai sudah semua ujian semester ini. Bye tugas! Bye exam! Bye Dictionary! Bye kalku! So, Please welcome my holiday.................!” Aku berteriak kencang disertakan dengan ayunan kedua tanganku ke kanan dan ke kiri bergantian,  layaknya seorang host kondang di sebuah acara bergengsi. Suaraku menggema di seluruh koridor. Sontak membuat semua orang memandangiku dengan tatapan tajam.  
            “Salsabila Humaira! Tangan loe! Minggir! Bau tahu! Loe kira ini kampus nenek moyang loe?”, bentak seorang gadis bawel. “Satu lagi, aku baru tahu kalau kamu itu mahasiswa paling norak ya? Baru pertama kali ngerasain libur semester?”, tambahnya.
            “Oops”, aku meringis, dan segera kuturunkan tanganku. “Uhhh.. begoo begoo begoo. Kenapa bisa lupa gini sih? Bia, ini kampus pus pus. Mukamu mau di taruh dimana? Malu kan malu?”, aku menggerutu di dalam hati sambil mendekap erat tas lenganku seraya menahan malu. Ku langkahkan kaki kecilku menyusuri koridor demi koridor, ku percepat langkahku dan berlalu dari tempat tersebut.
**
            “Bang, baksonya satu ya”, pintaku pada si abang  yang telah menjadi langgananku ini.
            “Oke, Neng geulis. Seperti biasa kan?”, jawabnya cepat. Ya, begitulah jawaban si abang setiap kali aku memesan. Dia sudah sangat hapal dengan seleraku.
            “Iya dong, Bang. Es teh jangan lupa ya”
            “Rebessssssss, Neng”, jawab si abang ngasal. Membuatku selalu tersenyum mendengar jawabannya.
            **
            “Assalammualaikum. Umi, Bia pulang....”
            “Walaikumsalam. Kamu sudah pulang, Dik? Umi lagi keluar sebentar, kamu segeralah ganti pakaianmu, makan, lalu istirahat”.
            Begitulah mbak Vina, kakak perempuanku. Dia adalah seorang kakak yang baik bagiku. Ia tak pernah bosan untuk memberikan perhatian dan pengertiannya kepadaku. Sikapnya juga tak pernah berubah terhadapku, walaupun kini dia telah mempunyai keluarga kecil sendiri.
            “Iya, Mbakku tersayang”, jawabku. “Muuaach” .
            Tak kalah dengannya aku pun mencium pipinya setiap kali ia datang ke rumah ini. Sungguh aku merindukannya. Mbak Vina jarang sekali mengunjungi kami setelah ia menikah setahun yang lalu. Tapi aku dan kedua orangtuaku tak mempermasalahkannya karena di samping jarak rumahnya yang cukup jauh, suaminya pun tak memiliki banyak waktu luang untuk  menikmati hari libur.
**
            “Umi, aku tak ingin menikah dengannya. Aku sudah mempunyai pilihanku sendiri untuk hidupku. Umi tak perlu mengkhawatirkan aku. Aku sudah cukup dewasa Umi. Cukuplah dulu mbak Vina saja yang kalian jodohkan”
            “Terserah apa katamu. Kamu boleh membenci kami, tapi dia lah lelaki terbaik untuk hidupmu nanti anakku. Percayalah kepada kami. Insyaallah dia baik untuk dunia dan akhiratmu”
            “Tiiiidddaaaakkkkkk”
            “Brrukk....” , aku terjatuh dari tempat tidurku. Aku mencubiti kedua pipiku “Awww, sakit sakit sakit” ku elus kedua pipiku yang tadi aku cubit sendiri. “Alhamdulillah, ternyata hanya mimpi ya Allah”.
            Ini bukan yang pertama kalinya aku alami. Aku sering sekali mengigau seperti ini. Pertama kalinya aku mengigau yaitu ketika aku mengetahui bahwa suatu keputusan yang sangat berat untuk mbak Vina dalam memilih masa depannya. Sampai hari ini, aku selalu saja memikirkan dan membayangkan apa yang terjadi dengan mbak Vina saat itu.
            Mbak Vina adalah seorang gadis idaman sejati. Parasnya yang cantik, diselimuti dengan kebaikan hati dan kesalehannya. Penampilannya yang anggun, disertai fikirannya yang sungguh dewasa membuat banyak lelaki yang menginginkannya untuk menjadi seorang pendamping hidup mereka.
            Malam itu, saat kami makan malam bersama. Abi memberi tahu mbak Vina bahwa dia telah dijodohkan dengan anak rekan bisnis abi di kantor. Mbak vina sangat terkejut mendengarnya. Begitupun denganku, aku sampai tersedak mendengarnya. Bagaimana tidak? Aku tahu bahwa mbak Vina telah memiliki seorang lelaki idaman untuk dijadikan sebagai suaminya, bahkan mereka telah merancang masa depannya bersama. Hanya saja, mbak Vina tidak pernah menceritakannya kepada abi dan umi. Ia hanya menceritakannya kepadaku. Waktunya belum tepat, itulah kata-kata yang selalu diucapkan mbak Vina kepadaku.
            Mendengar rencana kedua orangtuaku malam itu, mbak Vina tak pernah sekalipun  membantahnya. Mbak Vina masih bisa menunjukkan senyuman manisnya kepada abi dan umi. Mbak Vina sangat meyakini bahwa keridhoan Allah terletak pada keridhoan orang tua. Untuk itu, beberapa hari dari malam itu, mbak Vina membicarakan masalah ini baik-baik dengan kekasihnya. Kekasihnya tak mampu berbuat banyak dan merelakan untuk berpisah.
            Aku tahu posisi mbak Vina saat itu, aku mampu merasakan kegelisahan hati mbak Vina. Ia memendamnya. Ia menahan rasa sakit dan kekecewaannya sendiri. Ia tak pernah mengeluh sedikitpun. Ia pun selalu menuruti kehendak orangtuaku, walaupun terkadang berlawanan dengan keinginannya.
            Sampai pada suatu hari, aku mendengar doa mbak Vina saat ia melakukan salat istikharah, ia meminta petunjuk kepada Allah untuk menentukan pilihan. Ia hanya meminta yang terbaik untuk dirinya dan orang-orang disekelilingnya. Aku melihat butiran-butiran air matanya membasahi kedua pipinya. Aku pun sempat mendengar penggalan dari beberapa doanya di malam itu,
            “Ya Rabb, jika ini yang terbaik bagiku dan bagi orang-orang disekelilingku, aku akan mencoba menerimanya dengan ikhlas, aku berharap lelaki pilihan abi dan umi sama seperti pilihanmu, yang mampu membimbingku di dunia dan menyelamatkanku di akhirat kelak. Ya Rabb, tak ku pungkiri, ini teramat sulit bagiku, aku sangat mencintai Vino. Seandainya, Engkau memintaku untuk memilih, aku beraharap lelaki yang dijodohkan kedua orangtuaku kepadaku adalah Vino...”
**
            “Bagaimana saksi, syah?”
            “Syah...............” , jawab para saksi dan tamu undangan serentak selepas akad nikah mbak Vina selesai.
            “Alhamdulillah, kini kalian telah berada pada satu ikatan yang halal”
            Semua orang yang hadir, termasuk diriku sangat senang mendengarnya. Terlebih lagi, mbak Vina dan suaminya yang terlihat sangat bahagia. Ku lihat senyuman mbak Vina yang sangat lebar. Tak pernah aku melihat mbak Vina segirang ini sebelumnya.
            “Selamat ya, Mbak. Allah telah mengabulkan doa-doa mbak selama ini. Allah mendengarkan pintamu kepada-Nya. Kini Allah menanti pertanggungjawabanmu mbak. Semoga kalian menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah hingga akhir hayat. Bang Vino adalah pilihan hati mbak, dan Allah pun telah memberikan bang Vino untuk mbak”, gumamku dalam hati menyaksikan kemeriahan pesta hari itu.
**
            “Tok.. tok.. tok...”, aku kaget mendengar daun pintu kamarku diketuk.
            “Bia, boleh mbak masuk?”
            “Iya, Mbak. Boleh. Pintunya tidak di kunci, buka saja mbak”, jawabku pada mbak Vina sambil menahan rasa sakit ketika jatuh dari tempat tidur tadi. “Ada apa, Mbak?” , lanjutku.
            “Apakah kamu ada masalah, Dik? Mbak sering mendengar kamu mengigau dan berteriak seperti tadi”
            “Mbak sering mendengarnya?” , tanyaku malu-malu pada mbak Vina. Mbak Vina hanya menjawab dengan satu anggukan dan senyuman tanda mengiyakan.
            Aku pun tersenyum balik padanya, “Aku tak punya masalah apa pun, Mbak. Aku hanya terngiang dan selalu terngiang kejadian yang dulu mbak alami”. Mendengarkan penuturanku, mbak Vina merasa bingung. Namun, tak kuhiraukan. Aku kembali bertanya, “Mbak, mengapa saat itu mbak memutuskan untuk memilih lelaki yang telah dijodohkan kepada mbak. Bukan bang Vino yang telah mbak cintai sejak lama?”
            “Bia sayang, mbak mencintai bang Vino karena Allah. Mbak memutuskan untuk menuruti kehendak abi dan umi, lalu mengakhiri hubungan dengan bang Vino juga karena Allah. Bia tahu bukan jika ridho Allah terletak pada ridho orangtua? Oleh karena itu, mbak mengikhlaskan perasaan mbak saat itu. Tapi, tak mengapa. Mbak tak pernah menyesal dulu telah mengakhiri hubungan kami yang tidak halal. Karena ternyata cinta mbak kepada Allah, menuntun mbak mendapatkan cinta bang Vino secara utuh dalam satu ikatan yang halal”
            Mendengar jawaban mbak Vina yang sangat mulia dan bijaksana, aku terenyuh. Inilah cinta. Ketika cinta telah memilih dua insan yang diinginkannya, jurang sekalipun bukan penghalang. Apalagi, jika cinta yang dimiliki semata-mata karena Allah. Aku hanya tersenyum mendengar jawaban mbak Vina. Tak kusadari air mataku telah menetes, mbak Vina memelukku. Aku pun membalas pelukan hangat darinya.

Komentar

  1. kagak bisa berkata apa2.. cerpennya good bnget :)
    Tak ada yg tau jodoh kita sebelum wktunya, entah itu dijodohin ortu apa kagak.. yag penting mah berserah ke Allah :)

    BalasHapus
  2. hehe..
    alhamdulillah kalo good ya ^_^

    jodoh itu ketentuan Allah yang udah digariskan, right?
    :D

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer