Raisa Sayang, Mengertilah
“Apa
aku salah jika aku selalu merindukannya?”
“Apa
aku salah jika aku ingin selalu mengetahui kabar tentangnya?”
“Apa
aku salah jika harus memendam terus-menerus tentang perasaanku?”
“Apakah
aku tak boleh merindukannya?”
“Aku
marah. Aku kesal. Aku benci. Aku kecewa. Bisakah aku menunjukkan semua sikap
itu kepadanya?”
***
“Teng.......... Teng...........” jam
dinding berdentang menunjukkan pukul dua belas malam.
Mata bulat milik Raisa masih enggan
terpejam. Sesekali ia melirik hape mini berwarna merah terang miliknya, terdiam
membisu seharian karena sengaja di nonaktifkan olehnya. Fikirannya masih sibuk
berkelana, terbang kesana-kemari. Raisa menerka-nerka apa yang akan terjadi bila
handphone itu ia aktifkan. Akankah ada banyak sms datang dari kekasih hatinya?
Akankah ada penjelasan dari tambatan hatinya? Akankah ada seutas kata maaf dari
pemilik hatinya? Ataukah hanya ada kemarahan dari sang pacar yang akan diterima
kelak? Ataukah hanya sebuah keputusan untuk berpisah yang ia dapati? Lidah
Raisa acap kali terasa keluh bila dihadapkan pada situasi seperti ini.
Pertengkaran yang berlarut-larut, menyesakkan. Entah, setan apa yang merasuki
fikiran Raisa. Raisa tak pernah bisa menang melawan egonya sendiri.
“Kemana saja kamu seharian tak
memberi kabar padaku? Tak bisakah kau meluangkan sedikit waktumu untuk menanyai
kabarku? Apa kamu tak memikirkanku yang telah menunggu kabarmu sejak fajar
menyingsing? Ataukah aku memang tak ada difikiranmu?” Layar hape yang
bersentuhan langsung dengan pipi Raisa basah seketika. Butiran-butiran kecil
itu menetes tiap kali mailbox yang didapati Raisa ketika menghubungi Kevin,
kekasihnya.
Hal
ini bukanlah yang pertama Raisa alami. Berulang kali Kevin memberi penjelasan.
Namun, berulang kali juga Raisa tak pernah bisa memahaminya.
***
“Bukan itu maksudku. Mengertilah,
kau bukan lagi seorang anak kecil yang setiap saat harus diperhatikan, harus
dimanjakan. Kita sudah sama-sama dewasa bukan? Pahamilah diriku dan segala
kesibukkanku”
“Apa maksudmu? Kau menganggapku
seperti anak kecil, begitu?”, Raisa mendesah kesal. “Kau berbicara seolah aku
tak pernah bisa mengerti dirimu, tak bisa memahami semua kesibukanmu”
“Dewasa? Dewasa yang seperti apa
yang kau maksudkan untukku? Dewasa yang harus menerima semua kesibukanmu?
Dewasa yang harus selalu mengalah dengan waktu? Dewasa yang harus menerima
rindu sepihak saja, begitu?”, Raisa melanjutkan ucapannya.
“Jika kau menganggapku tak pernah
bisa mengerti dirimu, ya baiklah, selama ini memang aku tak pernah bisa
mengerti dirimu. Aku tak mengerti apa yang kau fikirkan. Aku tak mengerti apa
yang kau harapkan. Aku tak mengerti apa yang kau lakukan. Aku tak pernah mengerti
dan bahkan aku tak pernah tahu apa yang ada di benakmu, tentang perasaanmu
terhadap semua yang ku keluhkan”
“Dimatamu, selalu saja sia-sia yang
ku lakukan. Selalu saja aku salah dimatamu. Apakah pengertianku tak cukup
bermakna untukmu? Tak punyai arti apa-apa dimatamu”
“Hey, Raisa! Aku menyayangimu,
bahkan lebih dari yang kau tahu. Aku selalu memikirkanmu di sela-sela
kesibukanku. Aku selalu merasa bersalah jika tak sempat memberikan kabar
padamu. Percayalah hanya kau yang bisa mengerti diriku, Raisa. Hanya saja, aku
ingin kau lebih mengerti dan menerima kesibukanku”, serak yang Raisa dapati
darinya.
“Aku pun sangat menyayangimu, Kevin.
Aku mampu bertahan hingga detik ini karena aku sangat menyayangimu”, tak kalah
hebat, serak yang Raisa timbulkan pun kian terdeteksi oleh Kevin. “Tahukah kau,
seberapa besar kemarahanku, kekesalanku terhadapmu? Aku seringkali merasa lelah
menunggu kabar darimu yang tak kunjung datang. Aku pun terkadang letih jika
harus selalu mengalah menghadapi semua sikapmu. Tapi, lagi lagi aku bertahan
hanya untukmu, untuk menjaga hubungan ini, hubungan kita, Kevin”, isak tangis
Raisa pun memecahkan suasana malam itu.
“Raisa......”
“Aku tak bisa jika tak ada kabar
seharian dari pasanganku, Kevin. Karena bagiku, sesibuk apapun seorang kekasih
tak mungkin lupa memberi kabar kepada pasangannya. Aku pernah mengatakan hal
ini sebelumnya kepadamu, bukan? Jauh sebelum hubungan kita dimulai”
“Iya, Raisa sayang. Aku ingat itu.
Aku meminta maaf padamu atas seluruh kesalahanku dan kesibukanku. Berhentilah
sayang, simpan amarahmu, aku tak ingin bertengkar denganmu”
“Kevin. Dengarkan aku”, Raisa
sedikit membentak. “Maaf itu mudah, aku pun bisa memafkanmu dan melupakan hal
ini begitu saja. Tapi, jika ini terus berlanjut dan terulang berkali-kali,
bagaimana perasaanku, Kevin? Mengertikah, kau? Kau tahu bukan, menjalani Long distance relationship itu tidak
mudah? Kita tak bisa sesuka hati bertemu, bertatap muka, ngedate, hang out
bersama seperti pasangan kekasih lainnya. Sulit bagi kita untuk melakukan semua
itu. Jika aku tak mendapati kabar darimu, harus darimana dan kemana lagi aku
harus mencari tahu kabar tentangmu? Aku sangat merindukanmu. Aku selalu
mengkhawatirkan kondisi fisikmu yang tak pernah berhenti dari seluruh kesibukan
itu. Bisakah kau mengerti keadaanku? Bisakah kau mengerti perasaanku? Bisakah
kau pahami diriku, Kevin”
Raisa tak bisa lagi membendung air
matanya. Ia pun tak mampu lagi membendung perasaannya. Luapan amarah, luapan
kekesalan, luapan batiniah pun seakan lompat keluar menerobos pagar
perlindungnya.
Sedangkan Kevin, hanya bisa terdiam
mendengar semua keluh kesah dari Raisa –sebagai kekasihnya-
“Jangan hanya aku yang mengertimu.
Kau pun setidaknya berusaha mengerti posisiku, mengerti perasaanku. Aku
hanyalah wanita biasa yang ingin mendapatkan secercah perhatian dari seorang
kekasih yang terlanjur memiliki segudang kesibukan. Tapi, apakah cintaku ini
pun harus kau gadaikan keberadaanya? Kau duakan aku dengan segenap kesibukanmu,
Kevin sayang?”
Lagi lagi, Kevin tak bersuara. Kevin
hanya mendengar isak tangis yang sangat memilukan dari ruang kosong seberang
pulau dari telepon genggam miliknya.
“Disini, aku tertatih menunggumu.
Tahukah kau? Setiap menit aku memperhatikan layar datar handphone ini, berharap
ada satu pesan yang masuk ke inbox-ku, sekadar untuk bertanya kabar tentangku.
Untuk mendapatkan kabar darimu saja aku harus tertatih menunggumu, apa lagi aku
harus menunggu kedatanganmu dari Bandung, aku sangat tertatih”
Kini Kevin diselimuti rasa bersalah
yang begitu tebal. Perhatian dan pengertian yang diberikan Raisa sangatlah
besar kepada dirinya. Namun, Kevin tak mampu mengimbangi semua yang diberikan
Raisa kepadanya.
“Raisa sayang, hanya kaulah
satu-satunya yang bisa mengerti diriku dan kesibukanku. Hanya kau yang mau
bertahan untukku. Aku tak ingin kehilanganmu, aku sangat mneginginkanmu untuk
menjadi pendamping hidupku kelak. Aku bekerja keras, menyibukkan diriku, semua
hanya untukmu, memenuhi seluruh pintamu, lalu datang kepada orangtuamu untuk
mempersuntingmu. Andai saja kau tahu semua ini, Sayang.” Kevin hanya bisa membatin karena ia
tak ingin mematahkan perkataan Raisa yang telah emosi sejak lama. Ia berharap
semoga Raisa bisa mengerti suatu saat nanti.
Lama tak terdengar lagi cuapan mulut
Raisa. Kevin mencoba memanggil nama Raisa.
“Raisa......”
“Raisa sayang......”
“Kamu tidur ya?”
“Raisa....”, untuk kesekian kalinya
Kevin memanggil Raisa, tapi tak kunjung ada jawaban.
Kevin pun sangat hafal dengan kondisi
seperti ini, seperti biasa Raisa pasti tertidur. Ia pulas tertidur setelah
mengungkapkan seluruh emosi yang terpendam di lubuk hatinya sejak lama. Saat
matahari menyapa pagi esok hari, Raisa sudah pasti melupakan kejadian malam ini
dan bersikap biasa seolah tak terjadi apa-apa.
“Selamat malam, Sayang. Nice dream,
ya”
“I miss you, Dear. Miss you so much”
“Please, wait me. I will come to
you. I will make sure our dream. Believe me, Honey”
Naskah ini diikutsertakan dalam event LDR dan telah dibukukan bersama para kontributor lainnya dalam :
Komentar
Posting Komentar